Oleh: Baster Douglas Kareng (Penulis adalah : Kader Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia )
Kuasa Korporasi
Kenaikan harga minyak goreng bukanlah hal yang baru lagi dan telah menjadi bahan perbincangan publik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kenaikan harga minyak goreng terjadi sejak Oktober 2021 hingga Maret 2022. Merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) bahwa harga minyak goreng kemasan bermerk 1 berada pada kisaran harga Rp 26.600 per kg sebelumnya berada pada kisaran harga Rp 18.886 per kg. Kenaikan harga minyak goreng ini dalam sebulan melesat hingga 29% dan juga merupakan harga termahal selama satu tahun terakhir.
Fenomena ini telah memberi dampak buruk bagi setiap lapisan masyarakat. Karena kenaikan harga minyak goreng juga memicu kenaikan harga barang lain. Belum lagi saat ini daya beli masyarakat masih lemah disebabkan karena pandemi covid19. Di masa pandemi covid19 yang masih terus mewabah ini daya beli penduduk harus terjaga agar tidak menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia. Namun apalah daya, sejak 16 Maret 2022 melalui Permendag No 11Tahun 2022 , Kementrian Perdagangan telah menetapkan mencabut Harga Eeceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah dari harga Rp 11.500 persen liter menjadi Rp 14.000 per liter hingga Rp 15.500 per liter (Dilansir dari Kompas, 2022/04).
Dengan demikian dapat dinilai bahwa peran pemerintah masih sangat kecil dalam percaturan ekonomi politik nasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengakuan Menteri Perdagangan M. Lutfi di saat rapat dengan DPR, yang dengan terus terang Menteri Perdagangan menyatakan bahwa hingga kini harga minyak goreng masih jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang diatur Kementerian Perdagangan dan tidak mampu menormalisasi harga minyak goreng. Dari pernyataan Mendag tersebut dapat disimpulkan bahwa berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar karena ada mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan. Berkaitan dengan itu Mendag juga mengakui bahwa kewenangan Kementrian Perdagangan amatlah kecil sehingga harus menggandeng satgas pangan polri untuk menindak mafia dan penimbun minyak goreng.
Walaupun dengan berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah namun hingga kini harga minyak goreng masih belum bisa dikendalikan. Atau kemungkinan besar yang dimaksud Mendag adalah kartel, yakni suatu hubungan kerjasama atau kolusi antara beberapa kelompok produsen atau perusahaan dalam hal melakukan produksi barang serta memasarkannya yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi penawaran dan persaingan. Apalagi praktik kartel dilakukan dengan diam-diam sehingga membuat otoritas pengawasan dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih kesulitan dalam mendapatkan bukti guna menyeret pelaku kartel. Mungkin karena keterbatasan ini telah membuka peluang bagi para mafia untuk mengulangi kejahatan yang sama.
Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) pada tahun 2012 pernah menghukum pelaku praktik kartel. Ada 20 pabrik minyak goreng yang dinyatakan terbukti melakukan praktik kartel harga dan melangar Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 11 UU No. 5/1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Wintansari (2020) mengungkapkan bahwa dari perilaku tersebut, kerugian masyarakat mencapai Rp 1,27 triliun untuk minyak goreng kemasan bermerek dan Rp 374,3 miliar untuk minyak goreng curah. Namun, di tingkat banding dan kasasi, vonis ini dibatalkan karena bukti-bukti tak langsung KPPU tak dikenal dalam hukum acara pengadilan umum. Walaupun, dari keadilan dan kemanfaatan buat publik, vonis KPPU lebih tepat. Menurut KPPU, saat ini ada empat grup produsen raksasa minyak goreng menguasai 46,5% pasar. Mereka ini menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan jalan ini para mafia leluasa mendikte pasar.
Maka dari itu tidak heran walaupun dari tiga kebijakan yakni lewat wajib pasok kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO), CPO dan olein, wajib harga domestik atau Domectic Price Obligation (DPO), dan HET minyak goreng yang berlaku 1 Februari 2022 bisa mengumpulkan 720.612 ton dari 3,5 juta ton ekspor CPO, akan tetapi negara tetap tidak berdaya. Asumsi sederhananya dengan jumlah yang besar ini seharusnya pasar telah dibanjiri dengan minyak goreng. Tetapi pada kenyataannya tidak. Oleh karena itu, pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah mengapa minyak goreng hilang di pasar.? Semua itu disebabkan karena struktur pasar minyak goreng yang tercipta tidak sempurna. Begitu setelah HET dicabut dan harga minyak goreng kemasan dilepas di pasar pada 16 Maret 2022, seketika stok minyak goreng kemasan membanjiri pasar dengan harga yang sangat tinggi. Dengan demikian jelas bahwa ada pihak-pihak yang menahan stok minyak goreng ketika 3 kebijakan yakni DMO, DPO dan HET diberlakukan 1 Februari 2022.
Dalam upaya melibatkan Satgas Pangan untuk membantu Kementerian Perdagangan ternyata tidak membuahkan hasil sesuai yang diharapkan. Seharusnya Satgas Pangan yang dibentuk ini mampu mengoreksi pasar, juga menyeret para mafia ke ranah hukum. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya negara justru bertekuk lutut menyembah para mafia.
Itulah wajah perekonomian Indonesia. Selain masih diwarnai dengan berbagai bentuk praktik kartel perekonomian Indonesia juga cenderung didikte dengan korporasi-korporasi besar baik korporasi multinasional maupun domestik. Dominasi korporasi-korporasi besar tersebut seringkali justru karena pertalian kepentingan dengan negara. Negara juga dapat memunculkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha dan mengabaikan kepentingan masyarakat kecil. Namun kebijakan juga bisa lahir dari pengaruh pengusaha-pengusaha besar. Bisa jadi mereka dalam wujud elite yang berkuasa serta pejabat-pejabat birokrasi yang turut menikmati keuntungan tersebut.
Terlihat dengan jelas, ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) Indrasari Wisnu Wardana sebagai tersangka kasus penyelewangan minyak goreng. Tidak hanya itu, Kejagung juga menetapkan pengusaha swasta besar diantaranya Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA, dan General Manager di PT Musim Mas berinisial PT sebagai tersangka (Dilansir dari Kompas, 2022/04/21).
Secara nyata telah diketahui bahwa di balik kenaikan harga minyak goreng bukan karena dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dunia, tetapi ada permainan kelompok-kelompok tertentu. Mirisnya, sebagian dari mereka berasal dari sekelompok orang-orang yang berada di lembaga pemerintahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan peran Negara dalam mengatasi masalah tersebut.
Mempertegas Peran Negara
Dari perspektif ekonomi politik, Bulkin menyebutkan bahwa keinginan untuk menguasai pasar telah menyergap manusia secara nyata dan kadang tanpa ampun dalam setiap kurun sejarah di dunia. Untuk menguasai dan mengendalikan pasar tidak bisa dilakukan sorang diri. Butuh rekan kerja. Mengendalikan pasar dapat mewujud dalam bentuk mengendalikan kekuasaan dan ekonomi. Itulah mengapa untuk mengusai pasar harus ada praktik kartel di dalamnya. Terutama bagi Indonesia, kartel pangan bukanlah hal baru. Politik otoritarian dan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan elite penguasa dan para sekondannya telah menciptakan kapling-kapling ekonomi hanya oleh segelintir pelaku. Praktik buruk di era Orde Baru itu terus bermetamorfosa di era Reformasi, dan dilakukan turun-temurun dari generasi ke generasi. Sehingga tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan berubah jadi amat struktural,
Dalam konteks ini pertanyaannya adalah, di mana negara dan bagaimana harus memainkan perannya.? Jessop menyatakan bahwa negara seringkali berperan melakukan promosi kepentingan capital dan untuk itu negara di tingkat permukaan bersikap relatif transparan. Negara dalam masyarakat kapitalis cenderung mendefinisikan ekonomi sebagai kegiatan yang mendatangkan keuntungan dan karena itu kalangan pemilik modal sering diberi peluang untuk melakukan berbagai bentuk ekspansi usaha. Dalam konteks ini, peran kebijakan ekonomi yang diberlakukan negara untuk mengamankan kondisi bisnis swasta yang menguntungkan. Memang kekuatan pasar saja tidak bisa melengkapi kondisi bisnis oleh karena itu dibutuhkan kebijakan non-pasar. Akan tetapi kebijakan non-pasar (intervensi pemerintah) harus tetap menjaga keseimbangan pasar dan mencegah terjadinya dominasi ranah ekonomi.
Dalam hubungannya dengan ekonomi, negara juga berperan sebagai regulator (the state as regulator). Negara berperan penting untuk membuat aturan permainan di bidang ekonomi. Karena ekonomi tidak bisa lepas dari negara dan ekonomi selalu membutuhkan negara sehingga negara harus memiliki otoritas untuk mengatur ekonomi. Selain itu negara juga harus berperan sebagai pembuat kebijakan ekonomi (the state as economic policy-maker). Bagaimanapun ekonomi dibangun dan dikelola oleh negara. Negara harus berperan menentukan arah ekonomi.
Dalam konteks konstitusional Pasal 33 UUD 1945 harus dibangun atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kekeluargaan, kemandirian, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan menjaga keseimbangan, tentu negara dituntut berperan secara tegas. Bung Hatta menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah sendi dari ekonomi politik Indonesia. Karena di dalamnya telah tercantum cita-cita ekonomi terencana dimana pemerintah memiliki peran yang menentukan.
Negara bukanlah alat untuk kelompok yang dominan, juga bukan sekadar pelayan bagi yang miskin dan lemah. Tetapi negara juga merupakan suatu kekuatan pengatur dan pelindung hak-hak semua kalangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, negara harus memihak pada kepentingan semua secara profesional dan adil.(*)