Oleh : Rudolf Womsiwor ( Penulis adalah Mahasiswa Univertas Khairun Ternate asal Papua )
Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua tidak aspiratif karena tidak mewakili suara masyarakat, dan juga tidak melibatkan Gubernur Papua sebagai kepajangan tangah pemerintah pusat kebijakan itu juga di nilai sangat di paksakan, karena di jalankan tanpa melibatkan DPR Papua dan MRP
Ketua MRP Timotius Murib menyatakan, UU Otsus Papua baru itu menghapuskan tugas MRP dan DPR Papua untuk menolak atau menyetujui pemekaran Provinsi. Pasal 76 UU Otsus Papua lama menyatakan pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi di lakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.
Terkait pemekaran provinsi, [pemerintah] yang harus meminta persetujuan dari pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, dan MRP. Hal itu malah di hilangkan dalam undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Seharusnya pemerintah memintah pandangan dari pemerintah Provinsi Papua, DPR papua dan MRP. Apakah rakyat Papua perlu pemekaran atau tidak,?
Kebijakan yang di putuskan Jakarta sangat melenceng jauh dari amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang kemudian di revisi kembali menjadi undang-undang nomor 2 tahun 2021 mengalami perubahan yang bersifat mendiskriminatif,dan kontroversial, artinya bahwa rancangan memekarkan Provinsi Papua haruslah memperhatikan masyarakat Papua. Pemerintah dan DPR harus memastikan pemekaran itu akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat papua, mengingat, belajar dari banyak pengalaman pemekaran wilayah di tanah air, kebijakan itu tidak serta -merta memberikan dampak perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah yang di mekarkan.
Pemekaran atau bisa dikatakan sebuah pembangunan memang penting untuk kemajuan daerah bahkan sebuah negara dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, namun setidaknya negara harus mempertimbangkan atau belajar dari pengalaman dalam hal ini kabupaten kota yang ada agar supaya menjadi ukuran yang efektif dalam mengambil keputusan.
Papua adalah salah satu wilayah yang tingkat SDM nya paling terendah kalau mau di bandingkan dengan daerah-daerah di Indonesia bagian barat (Pulau Jawa), padahal Papua mempunyai SDA yang melimpah namun tidak menjamin sumber daya manusianya, maka jangan seenaknya saja negara mengambil kebijakan tanpa menimbang kembali apa yang sebenarnya masyarakat Papua butuhkan, itu subtansinya. Karena akan sia-sia realisasi pembangunan ditanah papua kalau sumber daya manusianya saja tidak mencukupi artinnya bahwa manusianya sangat penting di bangun,
Satu kegagalan terbesar Jakarta dalam melihat Papua adalah tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di Papua maka akan sulit untuk membangun Papua kalau menggunakan perspektif nasionalisme, jalan traspapua,jembatan yotefa,dan lapangan Lukas Enembe itu adalah bukti konkret pembangunan yang tidak mendasari kebutuhan masyarakat melainkan keinginan para elit Papua dan Jakarta.
Kehadiran Pemekaran atau DOB di Papua itu ibarat mimpi buruk dan malapetaka bagi OAP, secara logika pemekaran adalah perangkap yang di rencanakan sewaktu-waktu akan menjadi penjara ,bahkan bisa menjadi alat untuk negara lebih berleluasa dan berkuasa atas hak-hak orang Papua. udara,tanah, dan laut, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Papua sepenuhnya diatur langsung oleh negara, dan dampaknya adalah orang asli Papua akan termarginalisasi di negeri dan bangsanya sendiri.**